KokangGaming: Wawancara dengan Edso Edwin, Naoto Oyama, dan Yonghee Cho (PRAGMATA)

KokangGaming: Wawancara dengan Edso Edwin, Naoto Oyama, dan Yonghee Cho (PRAGMATA)

Author picture
Author picture

Dengan laporan finansial yang terus memecahkan rekor dari tahun ke tahun, keputusan Capcom untuk mengeksplorasi sebuah IP baru tentu sjaa menjadi sesuatu yang pantas untuk dirayakan. Karena harus diakui, tidak ada kewajiban bagi perusahaan Jepang yang sebenarnya bisa menimbun lebih banyak pundi emas dengan hanya mengandalkan popularitas Resident Evil dan Monster Hunter yang memang tidak pernah padam. Sejauh mata memandang, proyek bernama PRAGMATA tersebut juga terlihat menjanjikan.

Bersama dengan kesempatan kami menjajal demo singkatnya yang berujung memberikan impresi super positif yang langsung memosisikannya sebagai IP original yang potensial, kami juga berkesempatan untuk mewawancarai ketiga ujung tombak game ini: Edso Edwin sebagai produser, Naoto Oyama sebagai produser, dan Yaonghee Cho sebagai director. Ketiga kekuatan kreatif inilah yang membangun PRAGMATA dalam bentuk yang setidaknya, berujung kami jajal di Thailand Game Show x Gamescom Asia 2025 kemarin.

5 Tahun

Tidak ada lagi yang lebih mengkhawatirkan bagi seorang gamer selain melihat game yang begitu ia antisipasi ternyata berujung tenggelam tanpa kabar begitu saja. Apalagi kasus ini menyangkut Capcom yang di masa lalu sempat melakukan “gebrakan” tidak populer yang sama dengan Deep Down, yang di awal kabarnya sempat didesain untuk memamerkan kemampuan Playstation 4.

Sempat beberapa kali ditunda sejak pengumuman perdananya di tahun 2020, yang kemudian diikuti dengan minimnya informasi baru, tim memastikan bahwa semua waktu yang dihabiskan difokuskan untuk merampungkan PRAGMATA itu sendiri. Fokusnyan adalah membangun sebuah pondasi sistem permainan yang memang menyenangkan. Bahwa alih-alih terus menyuntikkan sesuatu yang baru, mereka memilihn  untuk menyempurnakan konsep dasar yang ada dan membangunnya menjadi sebuah game yang penuh.

Menjadi ambisi bagi mereka untuk membuat PRAGMATA tampil sebagai sebuah gmae science fiction yang berbeda dengan sebagian besar game yang “jatuh” pada konsep hanya first-person atau third-person. Dimana alih-alih hanya aksi, ia juga memuat elemen strategi di dalamnnya. Mereka ingin membuat player memerhatikan dan mempertimbangkan setiap musuh yang menghadang.Sebuah game yang tidak hanya berfokus hanya mengalahkan mereka saja.

Akan Semakin Kompleks

Tingkat kesulitan memang menjadi salah satu catatan terbesar kami pada saat memainkan sesi demo PRAGMATA ini. Karena terlepa dari konsep unik retas dan tembak yang ia usung, Anda perlahan tapi pasti akan dengan sangat mudah menghadapi setiap musuh yang ada, bahkan pertarungan boss sekalipuin.

Tim yang kami wawancarai ini sendiri sayangnya belum bisa secara terbuka mengkonfirmasikan apakah PRAGMATA akan memiliki pilihan tingkat kesulitan atau tidak di versi final nanti. Namun mereka memastikan bahwa demo ini didesain sedemikian rupa untuk membuat gamer-gamer yang menjajalnya tetap mengerti dan paham  soal mekanik inti yang hendak ditawarkan. Di versi final nanti, gamer bisa mengantisipasi sesuatu yang lebih kompleks, lebih cepat, dan lebih tricky.

Tentu saja, untuk konsep dasarnya sendiri, seberapa sulitnya Diana untuk meretas musuh tertentu akan direpresentasikan oleh papan retas yang muncul di bagian kanan layar. Untuk musuh yang lebih kecil, sang papan akan hadir lebih ringkas sehingga segala sesuatunya berjalan lebih cepat. Sementara untuk musuh tertentu, terutama boss, ia akan hadir dengan papan yang lebih besar, yang tentu saja menuntut lebih banyak manuver sebelum bisa diretas.

Tim juga menjanjikan bahwa seiring dengan cerita bergerak, tingkat kesulitan PRAGMATA juga akan terus bertambah. Ini dianggap sebagai sebuah desain yang esensial untuk tidak hanya memastikan gamer tidak bosan saja, tetapi juga memamerkan semakin kuat dan tumbuhnya Hugh sebagai karakter. Mereka optimis bahwa pengalaman yang mereka tawarkan dari awal hingga akhir permainan tidak akan membuat gamer bosan, apalagi dengan ragam opsi yang bisa diambil untuk menangani ragam ancaman yang ada. Bahkan, mereka cukup optimis bahwa gamer akan tertarik untuk memainkannya lagi setelah sudah menyelesaikannya.

Uji

Satu fakta yang menarik dari proses pengembangan PRAGMATA adalah cara mereka secara konsisten menguji build pengembangan mereka dan memastikannya berada di kualitas yang sepantasnya. Tim paham bahwa bias adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Seiring dengan lebih banyak build yang mereka racik, lebih banyak siklus permainan yang mereka uji, semakin mudah pula PRAGMATA akan terasa. Mereka takut bahwa situasi ini akan membuat mereka tidak imbang dan justru mendongkrak tingkat kesulitan PRAGMATA ke level yang tidak rasional.

Lantas, bagaimana mereka mensiasatinya? Mereka tidak membiarkan semua anggota tim untuk menguji dan memainkan PRAGMATA ini. Selalu ada “siklus” anggota tim muda dan baru yang bisa mereka andakan untuk menguji build baru untuk mendapatkan opini segar dan feedback. Namun mereka memastikan bahwa pondasi ide dari PRAGMATA tidak pernah berubah terlepas dari berapa banyak iterasi build yang sudah mereka racik. Bahwa game ini selalu berkutat pada dua hal: Hugh di sisi menembak dan Diana di sisi hacking.

Bereksperimen dengan Senjata

Salah satu keputusan yang paling menarik dari PRAGMATA adalah memosisikan senjata yang bisa digunakan Hugh sebagai “item” alih-alih senjata permanen yang seringkali Anda temukan di game-game survival horror ala Resident Evil. Ini berarti di PRAGMATA, Anda akan secara konsisten membuang senjata yang sudah habis pelurunya dan memungut senjata baru dalam siklus yang akan terus dilakukan hingga akhir cerita.

Tim menyebut kehadiran konsep senijata yang permanen seringkali membuat gamer “terperangkap” hanya pada satu atau dua varian senjata yang terus mereka gunakan. Sementara untuk PRAGMATA, mereka ingin gamer bereksperimen dengan senjata-senjata yang mereka siapkan, yang diklaim akan hadir dengan kuantitas yang cukup banyak. Kesempatan untuk bereksperimen dengan lebih banyak  senjata ini juga berarti opsi dan kebebasan untuk mengembangkan strategi untuk menundukkan setiap musuh yang ada.

Bulan yang DIngin

Dengan premis yang ia usung, PRAGMATA bisa saja jatuh ke dalam palung bencana saat kita bicara soal cerita. Bayangkan saja, game ini akan bertempat di sebuah markas futuristik yang terletak di bulan, yang tidak lagi memuat kehidupan manusia apapun selain dirinya. _Pondai setting seperti ini tentu saja sulit untuk mengembangkan cerita yang menarik dan emosional.

Di sinilah peran sang companion super imut – Diana akan bekerja. Interaksi antara Hugh dan Diana yang akan secara perlahan mengenal satu sama lain akan memberikan kehangatan di markas bulan yang dingin ini. Hubungan keduanya juga akan menjadi sumber kisah emosional di tengah dunia yang dipenuhi dengan robot-robot yang bahkan tak mampu berekspresi. Namun tidak hanya lewat cerita saja, Anda juga akan bisa merasakan kedekatan keduanya lewat proses eksplorasi dan kerjasama yang mau tidak mau harus mereka lakukan.

Tentu saja, Diana akan memainkan peran sentral dalam cerita PRAGMATA. Lewat interaksinya dengan Hugh, Anda juga akan perlahan tapi pasti melihat perubahan Android yang satu ini untuk terlihat dan terasa bak seorang manusia, pelan tapi pasti.

PRAGMATA sendiri rencananya akan dirilis pada tahun 2026 mendatang, masih tanpa tanggal pasti, untuk Playstation 5, Xbox Series, dan tentu saja – PC.

Author picture
Editor in Chief
Pladidus sudah berkecimpung selama 14 tahun di industri media game Indonesia dan selalu bersemangat untuk merekomendasikan Suikoden II kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja.

Next Post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Latest

Level Up Your Gaming News!

Subscribe for the latest gaming news and updates.

Share this website