
Event IGDX 2025 yang sempat berlangsung di Bali beberapa waktu lalu memang seringkali disederhanakan sebagai ajang para pelaku industri game Indonesia untuk terhubung dengan industri game global. Ia menjadi ruang terbaik bagi developer lokal untuk memamerkan produk seperti apa yang tengah mereka racik dan karenanya, berpotensi untuk dilirik oleh para “pemain” yang lebih besar. Namun tidak hanya terbatas di fungsi tersebut saja. IGDX 2025 juga menyediakan beragam panel berisikan para pembicara yang siap untuk membagikan pengalaman dan pengetahuan mereka.
Salah satu panel yang menarik perhatian kami adalah panel terkait proses pengembangan video game dari tercetusnya ide hingga rilis komersial yang diisi oleh Gabriela Siemienkowicz dari 11bit Studios dan Yoan Fanise dari DigixArt yang keduanya dikenal sebagai studio yang meracik dan mengayomi game-game Indie dengan ide yang tidak biasa. Fakta bahwa keduanya bisa meraih kesuksesan di kancah global tentu saja menjadi pencapaian tersendiri.
Ide Saja Tidak Cukup

Sepak terjang kedua studio ini dalam melahirkan ragam proyek game unik dari Frostpunk hingga Valiant Hearts tentu menjadi testimoni jelas bahwa keduanya memang “bermain” di luar jalur mainstream. Keduanya mengaku bahwa terlepas dari fakta bahwa proyek mereka unik, pondasi temanya tetaplah sebuah ide yang universal. Game “This War of Mine” dari 11bit Studios misalnya mengambil tema soal perang yang tentu saja melahirkan sebuah emosi yang tentu saja bisa dipahami dan dirasakan secara universal, oleh gamer siapapun dan dimanapun.
Walaupun demikian, ditegaskan bahwa ide unik saja tidak akan cukup untuk melahirkan sebuah video game berkualitas. Pada akhirnya, sebagai sebuah media yang interaktif, video game tetap butuh sebuah gameplay yang solid di luar sekadar cerita dan emosi yang kuat. Proses menyeimbangkan bergam elemen ini diakui memang tidak mudah.
Marketing Butuh Komunikasi
Setelah proses pengembangan game sudah selesai, maka menjadi tugas divisi marketing sebuah tim publisher untuk memperkenalkan game tersebut ke khalayak umum, terutama gamer sebagai calon konsumen.
Ternyata, untuk bisa mencapai ini, setidaknya dari budaya yang diterapkan oleh 11bit studios, tim marketing harus punya satu sikap yang jelas – terbuka. Terbuka dalam pengertian ia tidak menutup diri dan hanya berfokus pada dunianya sendiri. Ia harus secara aktif berkomunikasi dengan tim developer untuk memahami produk seperti apa yang tnegah diracik dan karenanya, mengerti soal strategi yang bisa ditempuh.
11bit Studios juga paham bahwa menjadi tugas seorang publisher pula untuk mengerti bahwa ia seharusnya menenangkan. Ia mengambil contoh bagaimana di beberapa kasus, mereka sempat menangani tim developer yang jumlah anggota tim-nya bahkan lebih sedikit dari tim marketing 11bit Studios itu sendiri. Paham bahwa proses pengembangan butuh tenaga dan waktu, menjadi tugas publisher untuk memastikan mereka tidak terdistraksi oleh sesuatu yang bukan tanggung jawab mereka. Developer butuh berfokus untuk mengembangkan dan merampungkan game mereka.
Memahami Reaksi
Yang menarik, tim marketing 11bit Studios juga menerapkan satu kebijakan yang dijadikan sebagai keharusan – bahwa mereka harus memainkan game yang akan mereka publish untuk memahami produk yang ada. Begitu siap, produk ini akan masuk ke dalam fase selanjutnya – yakni melewati proses close dan open playtest dengan gamer-gamer yang memang tertarik dengan genre yang diusung untuk mendapatkan feedback.
Setelahnya, publisher juga bisa melakukan proses mock review – melemparkan produk lebih dulu ke media untuk mengetahui kira-kira seberapa kuat atau lemah respon yang ada. Proses ini juga didesain untuk memprediksi kira-kira berapa nilai metacritic yang akan diusung sang produk setelah rilis.
11bit Studios menegaskan bahwa proses test memang wajib dilakukan beberapa kali secara konsisten untuk memastikan hasil akhir produk yang baik. Sikap menganggap remeh dan merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja bisa jadi malapetaka.
Feedback Negatif Lebih Baik Daripada Tidak Ada Feedback

Tentu menjadi pukulan yang telak bagi developer jika mereka menemukan ternyata game yang tengah mereka racik justru memancing lebih banyak feedback dan reaksi negatif daripada positif.
Bagi DigixArt, ada perspektif lain untuk mellihat situasi ini. Menurut mereka, feedback negatif adalah sesuatu yang tetap harus diterima dan disyukuri. Mengapa? Karena fakta bahwa sang komentator tetap meluangkan waktu dan tenaga mereka untuk menuliskan feedback berarti menunjukkan setifdaknya mereka peduli pada si produk.
Menurutnya yang lebih harus ditakutkan developer dan publisher adalah menemukan bahwa produknya ternyata tidak mendapatkan feedback ataupun review apapun, yang mengindikasikan bahwa tidak ada yang peduli dengan produk tersebut sama sekali.

