Blunder Open-World

Selain kehadiran sistem Shield yang benar-benar mengubah cara DOOM: The Dark Ages bekerja, yang datang dengan kelebihan dan kekurangannya sendiri, id Software juga berusaha menawarkan inovasi tertentu dari sistem desain level yang mereka usung di seri ini.
Gamer-gamer yang menikmati era DOOM modern sejak seri tahun 2016 sepertinya juga sudah memahami progress yang seolkah tidak terelakkan saat bicara soal elemen ini. Di versi 2016, kita bertemu dengan sebuah game FPS linear yang memuat pertempuran di ruangan lebih tertutup. Sementara di Eternal, konsep tersebut tetap bertahan, namun dengan ekstra jalur rahasia yang bisa dicapai lewat aksi platforming untuk lebih banyak rahasia, termasuk resource hingga collectibles. Di The Dark Ages? Mereka membawanya selangkah lebih jauh.
Perjalanan Anda yang akan dibagi ke dalam setidaknya 22 chapter terpisah ini akan terbagi menjadi dua kategori desain level. Pertama, tentu saja linear seperti 2016 dan Eternal. Ruangan tertutup, varian musuh yang terkadang butuh sistem prioritas tersndiir untuk ditundukkan, sebelum Anda beralih ke area lain dan menikmati cerita via cut-scene juga tetap tersedia di sini. Namun untuk kategori kedua? DOOM: The Dark Ages mulai menawarkan sistem level yang lebih terbuka untuk Anda nikmati.
Dari pondasi ide, dunia terbuka ini terdengar keren. Bahwa tidak lagi dari satu koridor ke koridor lainnya, Anda kini bisa menikmati sebuah desain dunia yang lebih luas untuk Andak jelajahi secara bebas dengan ekstra collectibles dan resource untuk dikumpulkan. Beberapa level dengan desain seperti ini juga memberikan kebebasan bagi Anda untuk memilih sendiri objektif mana yang ingin Anda selesaikan lebih dahulu.
Namun praktiknya? Ia justru jadi blunder terbesar DOOM: The Dark Ages. Mengapa? Karena setidaknya bagi kami, apa yang membuat DOOM 2016 dan DOOM Eternal begitu memukau dan memuaskan dari sisi gameplay adalaha ketegangan, keseruan, dan tantagan yang terus diluncurkan kepada Anda dalam pacing yang fantastis. Ini berarti, ia terus melemparkan kepada Anda keseruan tersebut tanpa memberikan banyak waktu untuk beristirahat. Terus bergonta-ganti senjata, memahami kapan untuk menggunakan utility atas nama ekstra health atau armor, hingga terus berpikir soal Iblis mana yang harus diprioritaskan adalah kunci yang membedakan kualitas DOOM dengan FPS lain.
Pendekatan open-world ini mengubah semuanya, menghasilkan pengalaman bermain yang justru lebih buruk dari dua seri sebelumnya. Apa pasal? Karena jelas mustahil bagi id Software untuk mengisi setiap jengkal arena terbuka ini dengan musuh, tantangan, dan sejenisnya. Area lebih besar berarti kebutuhan untuk lebih banyak berlari, apalagi jika Anda dihadapkan pada jenis level yang punya kunci rahasia untuk ditemukan, yang kemudian menuntut Anda untuk melakukan backtrack ke area sebelumnya untuk mmebuka kunci rahasia tersebut.


Ketika hal ini terjadi, apalagi ketika Anda menemukan bahwa ada collectibles untuk ditemukan, maka alih-alih berrtempur terus-menerus, Anda akan justru lebih banyak disibukkan dengan aktivitas berlari kesana dan kemari. Sesungguhnya, tidak ada satupun gamer penikmat DOOM yang membeli The Dark Ages ini untuk aksi berlari-nya yang sama sekali tidak berkontribusi untuk membuat game ini jadi lebih seru ataupun cadas. Yang terjadi dari konsep dunia lebih terbuka ini jutru mengacaukan pacing bermain dan cerita yang ada, apalagi jika Anda begitu berambisi dan berkomitmen untuk menemukan segala sesuatunya.
Kemurahan hati id Software untuk menyuntikkan sistem peta yang langsung memberi tahu soal lokasi-lokasi item collectibles juga jadi sebuah buah simalakama yang destruktif. Di satu sisi, ia memang mencegah lebih banyak rasa frustrasi untuk Anda yang ingin mengumpulkan segala sesuatunya. Namun di sisi lain? Seperti yang kami keluhkan sebelumnya, ini berarti mendorong Anda untuk lebih banyak aksi berlari dan mencari, yang harusnya tidak jadi esensi apa yang membuat DOOM 2016 dan Eternal begitu dipuja-puji.
DOOM:The Dark Ages menjadi satu dari sedikit contoh kasus dimana kami justru berharap ia kembali dan tetap bertahan dengan konsep gameplay linear dari koridor ke koridornya, alih-alih berusaha menawarkan nilai tambah dengan mengusung sistem desain level yang lebih terbuka. Semua ini berubah menjadi sebuah distraksi untuk apa yang seharusnya menjadi fokus DOOM itu sendiri di mata kami.
Kesimpulan

DOOM: The Dark Ages memang masih tampil sebagai sebuah game FPS cadas yang kembali mengukuhkan posisi Doom Slayer sebagai salah satu karakter protagonis paling keren dan menyeramkan di industri game, apalagi jika kita bicara soal dunia per-iblis-an. Untuk sebuah seri baru, mekanik teranyar yang ia usung juga berhasil menawarkan sesuatu yang jauh berbeda, yang tidak terdapat di dua seri sebelumnya. Dengan pertarungan boss yang tidak pernah gagal seru dan ekstra chapter dimana mecha dan naga menjadi bumbu metal yang menghilangkan rasa repetitif, DOOM: The Dark Ages dibangun di atas sebuah inovasi.
Permasalahannya terbesarnya? Tidak kesemua inovasi tersebut harus diakui berhasil berkontribusi untuk menghasilkan pengalaman DOOM yang lebih baik dibandingkan dua seri sebelumnya. Salah satu yang menurut jadi blunder terbesar justru datang dari konsep desain level lebih terbuka dan luas yang didorong, yang justru di mata kami mengacaukan pengalaman dan fokus DOOM yang seharusnya.
Kehadiran shield juga memang menawarkan seuatu yang baru, namun juga harus diakui, menciptakan sebuah pendekatan berbeda yang di beberapa titik berujung menghilangkan ketegangan dan kepanikan khas franchise ini, bahkan di tingkat kesulitan normal yang kami jajal. Satu yang pasti lagi, seiring dengan lama kami memainkan game ini, semakin rindu pula kami dengan musik dari Mick Gordon.
Namun di luar kekurangan tersebut, DOOM: The Dark Ages harus diakui tampil sebagai game FPS single-player di atas rata-rata walaupun harus diakui kehilangan begitu banyak hal yang justru membuatnya istimewa di seri sebelumnya. Namun satu yang pasti, ia tidak pernah gagal meramu sebuah atmosfer yang membuat Anda paham mengapa tiada satupun iblis yang tidak ketar-ketir ketika berhadapan dengan Anda.
Kelebihan

- Cerita kecadasan seorang Doom Slayer yang tetap keren
- Sistem shield menawarkan mekanik dan pengalaman bermain yang baru, seperti parry misalnya.
- Desain senjata dan monster terlihat memukau
- Pertarungan boss terasa lebih seru, apalagi dengan kehadiran sistem parry
- Aksi bertarung dengan mecha dan naga memberikan ekstra kesegaran
Kekurangan

- Desain dunia yang lebih terbuka justru mengacaukan pacing dan fokus
- OST sebegitu tidak memorable-nya hingga kami terus merindukan Mick Gordon
- Semua mekanik yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan Shield bisa berujung menghilangkan banyak keseruan dari seri terdahulu
Direkomendasikan untuk gamer: yang menginginkan game FPS single-player dengan cerita solid, fans DOOM modern
Tidak drekomendasikan untuk gamer: yang datang untuk menikmati OST metal-nya, yang menginginkan sensasi 2016 yang lebih linear