Kebelet Bermoral

Dibandingkan dengan struktur cerita tidak masuk akal yang ditawarkan oleh Gamecom di Troublemaker pertama, Troublemaker 2 memang hadir dengan jalinan cerita yang lebih solid. Ia hadir lebih megah dengan konflik utama yang kini lebih berbahaya dimana resiko dan konsekuensi untuk mengatasinya tidak lagi sekadar dibayar dengan ancaman akan dikeluarkan dari sekolah. Ada kematian, ada dendam, ada keretakan persahabatan yang membuat Troublemaker 2 terasa lebih gelap dan serius.
Namun ada satu pendekatan super menarik yang juga kami lihat sebagai salah satu kekurangan terbesar dari seri kedua ini. Walaupun ini hanya teori dan observasi kami, namun kami merasa bahwa tim penulis Gamecom sendiri terkesan ingin memastikan kritik dari sang seri pertama – dimana keseluruhan konsep Troublemaker 1 disebut-sebut tidak punya faedah sama sekali – tidak lagi terjadi di seri kedua ini. Namun sayangnya, mereka membawanya ke kubu ekstrim yang tidak kalah aneh dan canggung.
Hal pertama yang terlihat adalah pembatasan penggunaan bahasa kotor spesifik yang tidak lagi ditabur sembarangan di dalam percakapan Troublemaker 2. Jangan salah, ia masih menggunakan bahasa tongkrongan yang kasar untuk sebagian besar interaksi yang ada, namun setidaknya kini terasa lebih natural. Pemilihan dan penggunaan kata-kata kasar yang lebih “brutal” kini ditempatkan di posisi yang terasa lebih tepat untuk menghadirkan ekstra shock value.
Masalah terbesar Troublemaker 2 adalah kesan bahwa mereka kini mati-matian hendak menyuntikkan “faedah” ke dalam seri terbarunya ini, yang di titik ini bahkan terasa ekstrim. Hasilnya? Adalah upaya untuk menyuntikan pelajarani moral di setiap sudut yang mereka bisa sisipkan, dari misi utama hingga misi sampingan.
Pelajaran moral di dalam video game memang bukan hal baru. Namun sebagian besar disajikan dalam bentuk implisit, dimana gamer diberikan keleluasaan untuk berpikir, mengambil kesimpulan, dan menentukan sendiri apakah misi yang baru ia jalani tersebut memang bisa diinterpretasi demikian atau tidak. Yang dilakukan Troublemaker 2? Menempelkannya di depan mata dan memaksa Anda menelan pesan-pesan moral tersebut, walaupun ia tersendiri terasa tidak cocok dengan situasi, karakter, hingga keseluruhan atmosfer Troublemaker 2 itu sendiri.


Hasilnya? Tidak sedikit situasi dimana Anda seolah tengah duduk di kelas dan menerima pelajaran pendidikan moral dari seorang guru. Ada begitu banyak skenario dimana karakter yang terlibat – Budi ataupun Jordan hadir dengan sebuah kesimpulan akhir soal apa yang terjadi dengan sang misi dan menutupnya dengan sebuah nasehat panjang lebar soal apa yang seharusnya dan tidak seharusnya Anda lakukan. Tidak cukup? Bahkan ada beberapa skenario, termasuk cerita utama, dimana ayat-ayat suci Al-Quran dan Alkitab dihadirkan sebagai bagian dari “pembelajaran moral” tersebut.
Sejujurnya, kami sangat bingung dengan keputusan dan pendekatan penulisan seperti ini, apalagi untuk sebuah game yang secara terbuka terus melemparkan kepada Anda “lelucon-lelucon jamban” di hampir setiap kesempatan yang ada. Menyuntikkan pesan moral di sebuah video game selalu lebih manis jika disajikan secara implisit. Namun Gamecom hadir seolah-olah tidak percaya bahwa penikmat game mereka punya kapabilitas isi otak yang cukup untuk mengambil kesimpulan sendiri atau sekadar memutuskan apakah mereka ingin “mengambil nilai” sesuatu dari cerita yang mereka sajikan atau tidak.
Yang paling menyedihkan adalah kontras dengan pendekatan sang penulis cerita lain yang tampaknya punya sudut pandang yang cukup “menyeramkan” terkait karakter-karakter wanita yang ditampilkan di Troublemaker 2. Untuk sebagian besar misi sampingan yang melibatkan karakter wanita sebagai sentral cerita misalnya, hampir sebagian besar “lelucon” soal seks misalnya datang dari si karakter-karakter wanita ini. Mereka selalu menjadi yang pertama kali melontarkan lelucon seperti ini, misalnya “Rokok Daging”, yang biasanya tidak dilanjutkan atau direspon oleh karakter utama terkait.
Bahkan, kami sempat bergidik ketika di salah satu adegan cerita utama, seorang karakter sekaligus teman dekat gerombolan Jordan bernama – Satrio melemparkan lelucon sekual ke karakter Andira – yang notabene sudah diposisikan sebagai karakter wanita berjilbab dan punya kepribadian yang murni di dalam cerita.
Satrio menyebut bahwa dirinya tidak berkeberatan jika ia “ditindih” oleh Andira yang tentu saja punya konotasi seksual yang kuat. Walaupun pada akhirnya direspon dengan tamparan Andira dan kemarahan karakter pria yang lain, ia tidak datang dengan teriakan atau tuduhan bahwa Satrio baru saja melakukan pelecehan seksual pada wanita berjilbab ini. Lebih parahnya lagi? Kalimat ini dilontarkan bak lelucon dengan ekstra tawa oleh Satrio. Lebih parah parahnya lagi? Jordan dkk, termasuk Andira, masih berteman baik dengan Satrio terlepas dari ketidaknyamanan yang sudah diperlihatkan oleh Andira sebelumnya.


Sensitivitas memang masih jadi masalah terbesar penulisan cerita Troublemaker 2. Mungkin bagi beberapa gamer, ia bisa dikesampingkan. Namun bagi kami, ada beberapa hal yang tetap perlu dipikirkan dan diperhatikan ketika menyajikan cerita, yang tentu saja seringkali merefleksikan sudut pandang dan nilai sang penulis cerita. Situasi di atas misalnya cukup untuk membuat kami khawatir dan was-was soal kenyamanan karyawan-karyawan wanita di tim developer Gamecom itu lelucon berkonotasi seksual sekuat ini sendiri ini dianggap “lucu”. Semoga saja, lelucon-lelucon seperti ini bukan sesuatu yang normal dilontarkan di lingkungan kantor mereka ataupun di depan mereka.
Masih belum cukup? Anda juga tidak akan sulit menemukan situasi dimana game ini dengan terbuka melihat bahwa penyakit mental sepeti Schizophrenia dan kelompok marginal seperti ODGJ menjadi lelucon di sini. Bahwa mereka seringkali jadi justifikasi mengapa satu atau dua karakter NPC di dalam cerita sampingan berperilaku aneh, yang kembali ditutup dengan tawa seolah lelucon. Situasi yang tidak kalah menyedihkan? Mereka juga menyertakan bencana besar – Tsunami di tahun 2004 silam, yang menewaskan lebih dari 220.000 orang di seluruh dunia sebagai akibat dari situasi klenik yang jadi bagian dari misi sampingan spesifik.


Kontras yang begitu curam antara keinginan untuk memberikan pelajaran moral di setiap sisi dan absennya sensitivitas moral di beberapa isu yang penting membuat Troublemaker 2 hadir sebagai produk yang canggung dan membingungkan dari sisi penulisan. Pada akhirnya, situasi ini berujung mencederai kenikmatan cerita utama yang walaupun harus diakui sedikit dragging dan terlalu panjang, namun punya struktur yang solid.
Situasi ini juga membuat kami bisa mengabaikan beragam tindakan “narsis” Gamecom sebagai developer yang beberapa kali menyertakan diri mereka sendiri dalam game, terutama dari misi sampingan yang ada. Walaupun kami masih melihat aksi ini sebagai sesuatu yang norak, apalagi dengan fakta bahwa salah satu misi sampingan mereka benar-benar ditujukan hanya untuk mempromosikan game mereka yang lain, kami bisa memahami situasi yang satu ini lebih baik daripada aksi “polisi moral” yang kami bicarakan sebelumnya.
Kebutuhan untuk Tumbuh
Terlepas dari ragam kritik pedas kami untuk Troublemaker 2, ada mimpi untuk benar-benar bisa melihat game yang satu ini tumbuh menjadi “Yakuza Indonesia” yang seharusnya, dimana ia akan jadi game action semi open-world berbasis melee yang menyenangkan, seru, dan gila di saat yang sama. Dengan bagaimana kisah Troublemaker 2 berakhir, sepertinya aman untuk berasumsi bahwa Troublemaker 3 tengah direncanakan Gamecom saat ini.
Di mata kami, sang seri terbaru inilah yang akan jadi pembuktian seberapa tangguh Gamecom nantinya. Dari seri pertama hingga seri kedua ini, kami merasa bahwa sekelompok basis fans dan komunitas super setia yang terus mendukung Troublemaker, terlepas dari semua kekurangan yang sudah ia pamerkan sebagai video game. Fanatisme seperti ini bisa mengakar dari dua hal: kecintaan pada brand karena satu dan lain alasan, dalam hal ini – Troublemaker ATAU sang basis fans belum menemukan produk pembanding yang sebanding.
Namun selama proses tunggu dari Troublemaker 2 ke seri selanjutnya nanti, pasar indie game global akan menikmati beberapa game serupa yang di mata kami, selayaknya dibandingkan dengan apa yang sudah dan akan ditawarkan oleh Gamecom di seri selanjutnya.
Dari tanah Nusantara misalnya, kita sudah bertemu dengan proyek seperti Act of Blood dari Eksil Team yang sejauh ini memamerkan gameplay tarung tangan dengan animasi yang lebih halus, dengan visual yang lebh detail. Kita juga akan kedatangan game lain seperti Agni yang siap memanfaatkan teknologi Unreal dengan maksimal lewat aksi facial capture yang sejauh ini, selalu efektif memancing hype. Sementara dari negara ASEAN lain, ada game asal Brunei – Class Zero Seven yang mengingatkan Anda pada Troublemaker 1, namun dengan protagonis wanita dan animasi yang halus. Ketiga game ini belum tersedia di pasaran, belum bisa jadi pembanding, namun tetap berpotensi dibandingkan ketika mereka tersedia di masa depan.
Some of the early prototype for Project Sugar🧊#gamedev #screenshotsaturday pic.twitter.com/lCkIGe7lIO
— Class Zero Seven ➡️ Wishlist on Steam! (@ClassZeroSeven) February 24, 2024
Fans fanatik Troublemaker akan selalu eksis, namun kami percaya bahwa akan ada porsi juga yang akan memainkan game-game ini di masa depan dan mulai membangun harapan dan ekspektasi bahwa Gamecom akan bisa naik kelas untuk berdiri di jajaran yang sama, terutama dari sisi presentasi dan konten. Mereka-mereka yang mungkin merasa bahwa meminta dan menuntut sesuatu yang punya level setara dengan Yakuza / Like a Dragon dari RGG di titik ini masih terhitung harapan yang delusional.
Selalu ada kemungkinan muncul mereka-mereka yang tidak lagi bisa menerima sesuatu yang sekadar “standar” atau “di bawah standar” untuk sebuah game yang sudah diperjuangkan sebaga “Yakuza Indonesia’ oleh banyak pihak. Pertanyaannya kini, apakah Gamecom akan bisa membawa Troublemaker 3 ke level elevasi baru? Ataukah, ia akan “terperangkap” di situasi yang serupa dengan sedikit ekstra penyempurnaan? Kita tunggu saja.