6. Mirror’s Edge

Bayangkan sebuah game superniche yang bahkan belum tentu bisa dimainkan semua orang. Bahwa hanya gamer-gamer dengan “spesifikasi” tertenut saja, yang mungkin datang dari kebiasaan, pelatihan, atau sekadar talenta natural yang bisa menikmatinya dari awal hingga akhir sebelum berakhir memuntahkan semua isi perut mereka. Benar sekali, kita tengah bicara soal Mirror’s Edge.
Di luar pasar niche tersebut, tidak ada yang memprediksi bahwa kombinasi konsep sebuah game dari kacamata orang pertama dan platformer dengan gaya parkour yang kuat ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang istimewa. Ia juga dibalut dengan keputusan-keputusan desain yang pantas dirayakan, dari fokusnya yang tetap berpusat pada aksi melompat, mencari jalan, dan bermanuver dengan gaya alih-alih pada sisi aksi misalnya. Semuanya dibalut dengan desain karakter ikonik yang bisa dengan mudahnya Anda kenali, bahkan hingga saat ini.
5. Returnal

Transformasi Housemarque sebagai developer game action memang fantastis, apalagi setelah mereka kini berdiri penuh di bawah bendera Sony. Dari sebuah game action side-scroll ke top-down yang kesemuanya didesain dengan prinsip pergerakan cepat nan ketat serta tingkat kesulitan yang tidak bisa dianggap remeh temeh, mereka melahirkan game sekelas Returnal.
Oplosan yang ditawarkan Returnal bukan hanya soal game third person shooter dengan elemen rogue-like yang tidak biasa saja, tetapi juga tingkat kesulitan yang dibangun dari konsep bullet-hell yang memang menjadi identitasnya. Benar sekali, konsep hujan peluru segala arah yang ditawarkan oleh game sekelas Tohou misalnya, kini diterjemahkan dari perspektif orang ketiga. Melihat ratusan peluru yang dimuntahkan ke arah Anda sembari menuntut pergerakan sikap selalu menghasilkan pengalaman seru sekaligus penuh kecemasan di saat yang sama. Lebih fantastis lagi ketika “muntahan” peluru tersebut kemudian dibarengi dengan musik yang keren.
4. Valorant

Hero shooter adalah hero shooter, Counter-Strike adalah Counter-Strike. Keduanya punya fokus yang berbeda, mekanik berbeda, komunitas berbeda, dan tingkat tuntutan kemahiran yang jelas berbeda. Siapa yang pernah membayangkan bahwa ada sebuah studio di luar sana, yang kebetulan lebih terkenal karena game MOBA sukses mereka, yang kemudian memutuskan untuk menciptakan sebuah versi oplosan keduanya.
Hasilnya luar biasa, dengan popularitas Valorant hingga di titik artikel toplist ini ditulis sebagai testimoni tidak langsung dari apa yang berhasil dicapai oleh Riot Games.. Ia membuktikan bahwa pendekatan sebuah game shooter yang butuh presisi tinggi seperti Counter-Strike ternyata bisa dilebur manis dengan konsep hero shooter yang solid. Kejeniusan Riot Games ini juga mengemuka dari hal-hal kecil, seperti memosisikan skill sebagai utility yang harus dibeli hingga sistem desain level yang lebih terbuka dibandingkan Counter-Strike pada umumnya.
3. Persona 3

Sebagian besar RPG memang aknalangsung melemparkan Anda ke sebuah dunia fantasi yang akan membawa Anda pada satu perjalanan dengan tujuan suci yang tidak bisa diganggu gugat – yakni menyelamatkan dunia. Persona juga sebenarnya punya posisi yang sama sebagai game JRPG dari ATLUS, hanya saja ia mengkombinasikan konsep kehidupan anak sekolah dan semua lika-likunya. Semuanya dilebur dengan kebebasan mengatur dan merencanakan waktu Anda sendiri, termasuk soal kemana perhatian Anda diarahkan sebagai karakter utama.
ATLUS memanfaatkan konsep in dan menggabungkannya dengan sistem serupa dengan game-game datring sim yang memungkinkan Anda untuk memilih untuk mengencani satu karakter lawan jenis atau semua karakter lawan jenis jika Anda tertarik. Walaupun mekaniknya sendiri tidak “sedalam” game dating sim, terutama jika kita bicara soal kedalaman cerita, namun sensasinya serupa. ATLUS selalu menawarkan cukup banyak karakter wanita dengan kepribadian dan trope mereka masing-masing. Ia menuntut Anda untuk memilih, memberikan prioritas, hingga menghabiskan waktu”berharga” Anda untuk sisi tersebut, yang memang identik dengan sebuah game dating sim.