Preview Troublemaker 2: Ambisi Lebih Besar, Masalah Masih Sama!
Page 2

Preview Troublemaker 2: Ambisi Lebih Besar, Masalah Masih Sama!

Author picture
Author picture

Masalah yang Masih Sama!

Troublemaker 2 justru membuat kami berujung pada satu kesimpulan pikir: bahwa bisa jadi masalah kualitas di Troublemaker 1 bukan karena mereka kekurangan resource atau dana. Ini lebih ke soal kualitas tim.

Sebagai gamer yang tidak menyukai Troublemaker 1 dan berharap Gamecom bisa belajar lebih banyak untuk membawa seri game ini ke level yang baru apalagi dengan modal dan resource lebih besar yang mereka miliki, kami justru berhadapan dengan lebih banyak kekecewaan ketika mencicipi demo di media preview Troublemaker 2 ini.

Walaupun jelas ada beberapa tambahan fitur yang pantas untuk dirayakan, yang akan kami bicarakan di sesi selanjutnya, Troublemaker 2 tetap hadir dengan masalah krusial yang sempat menghantui seri pertamanya. Bahwa alih-alih terasa naik kelas, ia justru terasa seperti sebuah franchise yang lagi-lagi terkurung di dalam tempurungnya sendiri. Tempurung yang memang terlihat kian meluas dan melebar, namun berisikan masalah yang sama. Sejujurnya kami berujung kecewa sekaligus terpana di saat yang sama. Bagaimana mungkin, dengan semua resource yang sudah lebih baik ini, keluhan yang kami harus utarakan tetap “terkunci” di poin-poin yang seharusnya sudah dibenahi.

Masalah pertama? Ia kembali terasa seperti sebuah produk kreatif yang didesain untuk menjadi ajang “masturbasi” kreatif antara tim tanpa ada terlihat upaya untuk menawarkan sesuatu yang lebih berkelas di sepanjang perjalanannya. Sebagai contoh? Entah karena sang kreator sudah merasa bahwa levelnya sudah setara dengan Hideo Kojima atau atas nama karena ia merasa ini adalah “lucu yang berkelas”, Anda sudah menemukan nama sang boss besar dari tim developernya Gamecom – Nanda di beberapa menit awal permainan.

Walaupun sosok Nanda-nya sendiri tidak diperlihatkan di sini, namun upaya untuk mereferensi sang nama sebagai salah satu donatur live-streaming karakter yang ia racik sendiri, di jam pertama pengenalan si game, adalah sebuah sebuah aksi masturbasi sakit yang tidak punya tujuan laih selain memenuhi kebutuhan dan keinginan ego semata. Keren? Tidak. Lucu? Di mata kami, juga tidak. Berkelas? Jelas tidak.

Kemudian ia berpindah ke upaya untuk mereferensi lagi ekosistem gaming Indonesia seperti referensi jelas ke streamer raksasa lokal – Windah sebagai karakter yang bisa Anda lawan bersama dengan tim “Bocil Kematian” yang jelas mereferensi ke siapa. Kami sendiri sekali lagi tidak tahu-menahu seberapa dalam kerjasama antara Gamecom dengan Windah misalnya atau seberapa cinta tim developer ini pada streamer yang memang sempat ikut mempopulerkan Troublemaker ini. Namun referensi di jam pertama? Untuk karakter seperti ini? Setelah referensi Nanda Gamecom sebelumnya?

Maka sulit rasanya untuk tidak membiarkan otak ini bekerja liar. Hanya ada dua argumentasi mengapa masalah seperti ini masih terjadi dengan Troublemaker 2. Pertama, karena kemampuan narasi atau sekadar humor tim developer yang memang tidak mengalami peningkatan sama sekali dibandingkan sang seri pertamanya. Kedua? Ini adalah sebuah tindakan yang memperlihatkan rasa tidak percaya diri untuk menangkap perhatian besar. Bahwa mereka mencari cara alternatif untuk “menjual” Troublemaker 2 dengan langsung berupaya menangkap perhatian basis fans Windah daripada meracik game action yang memang menarik dan berkualitas.

Dan sejauh lama waktu kami bermain, kami mencurigai bahwa alasannya memang mengakar pada situasi yang pertama. Bahwa terlepas dari kian besarnya jumlah tim dan upaya untuk menawarkan sesuatu yang lebih baik di sisi teknis, tim Troublemaker 1 dan tim Troublemaker 2 tidak punya kapabilitas untuk meracik narasi yang lebih menarik, lebih dewasa, dan lebih berkelas. Semua ambisi mereka untuk menyentuh dan mengeksplorasi ragam masalah sosial dalam gaya “satir” yang sempat mereka klaim justru membuat kami bertanya-tanya.

Sebagai contoh? Salah satu misi sampingan yang membicarakan soal teknologi VR dan bahaya yang ia usung, yang bisa Anda picu baik sebagai Budi ataupun Jordan nantinya. Minus semua pendekatan teknis seri Yakuza seperti setidaknya upaya untuk melakukan dramatisasi lewat aksi zoom-in di momen tertentu dan sejenisnya, misi ini berjalan seperti yang bisa Anda prediksi. Tapi dia juga menjadi highlight dari beberapa masalah awal Troublemaker 2.

Pertama? Misi sampingan ini sedikit berjalan dragging. Tidak hanya satu atau dua kali, kami harus berhadapan dengan kelompok musuh yang sama selama tiga kali yang ketiga-tiganya tetap bisa ditundukkan dengan varian serangan kombinasi yang itu-itu saja. Kedua? Cara mereka menangani konklusi dari cerita yang hendak mereka dorong sebagai satir “cerdas” untuk masalah sosial di Indonesia ini.

Daripada membiarkan Anda  untuk mengambil kesimpulan Anda sendiri misalnya, Troublemaker 2 tiba-tiba berubah fungsi menjadi “guru moral” yang memberikan konklusi untuk masalah ini dengan menuliskan secara eksplisit apa yang perlu Anda pikirkan, apa yang perlu Anda tangkap, dan sikap seperti apa yang perlu Anda ambil. Untuk masalah misi VR ini misalnya, mereka menuliskan bagaimana selayakanya manusia Indonesia tidak tergiur untuk membeli teknologi super mahal yang bisa jadi tidak lagi relevan dalam periode waktu tertentu, apalagi sampai berhutang untuknya.

Sebagai gamer dewasa yang menyelesaikan misi ini, kami mengerti dan kami paham soal apa yang hendak mereka sampaikan. Hanya saja, ada begitu banyak cara yang jauh lebih baik untuk menyajikan masalah-masalah sosial ini sebagai bagian dari misi dan menutupnya dengan elegan dan manis. Kami tidak ambil pusing soal humor jamban, humor nyeleneh, ataupun ragam masalah sosial seperti apapun yang ingin dibawa Gamecom ke seri terbaru ini. Masalahnya adalah bagaimana ia ditulis, ia disajikan, dan ia ditutup. Mereka seolah lupa bahwa terlepas dari super nyelenehnya misi-misi sampingan di Yakuza, mereka tetap ditulis dengan sebegitu baiknya, bahkan sampai emosional. Kerennya? Tidak ada satupun dari satir di Yakuza yang terasa “menggurui” dan sedangkal bak penyajian soal PPKN  yang diterjemahkan dalam game interaktif.

Walaupun sesi demo singkat kami sama sekali tidak bisa digunakan untuk menilai seperti apa kualitas cerita utama untuk si Budi dan Jordan nantinya, namun situasi penulisan di misi sampingan ini harus diakui cukup untuk memicu rasa khawatir dan skeptis bahwa Gamecom sudah berada di level dan kualitas yang baru. Apalagi misalnya dengan begitu tidak berkelasnya cara mereka memperlihatkan konsep “kerukunan agama” yang sejauh ini terlihat hanya di level permukaan, seperti karakter berjilbab dan bersalib dan diskusi soal perbedaaan agama di dialog sana-sini. Ini kembali adalah upaya “terlalu keras” untuk memotret sebuah situasi sosial dengan cara yang di mata kami pribadi, tak elegan seperti seharusnya.

Ambisi memang terlihat lebih besar, namun kami takut bahwa untuk kedua kalinya, mereka tetap tidak bisa memenuhi apa yang mereka impikan. Jika uang lebih banyak, tim yang lebih besar, dan koordinasi dengan media yang lebih baik tidak bisa mencapai itu, lantas apa yang sebenarnya dibutuhkan Troublemaker  untuk bisa naik kelas?

Bukan Tanpa Apreasiasi

Anak ART Gamecom dan keputusan untuk menggandeng musisi ./ band indie lokal untuk mengisi OST Troublemaker 2 adalah sebuah keputusan fantastis yang pantas untuk diapresiasi.

Namun terlepas dari rasa khawatir dan apatis kami, ada setidaknya dua hal yang kami apresiasi dari apa yang kami nikmati dengan Troublemaker 2 ini.

Pertama, seperti seri pertamanya, kami jatuh cinta pada tim art mereka yang tetap di mata kami menjadi tulang punggung yang membuat Troublemaker 2 ini lebih menarik. Kualitas adaptasi model 3D dari artwork 2D yang ada memang sudah lebih baik dibandingkan seri pertamanya, namun tidak sampai level yang benar-benar pantas untuk dipuji. Kehadiran anak-anak ART Gamecom menurut kami jadi semacam elixir efektif untuk membuat beberapa kelemahannya menjadi jauh lebih bisa ditoleransi.

Kedua? Tentu saja cara Gamecom mengundang para musisi lokal Tanah Air, yang sebagian besar indie dan jarang diketahui, untuk mengisi OST di game ini. Kami menikmati dan menghargai keinginan sang tim developer untuk ikut meningkatkan popularitas media lain yang bisa jadi punya ruang yang jauh lebih sempit untuk menarik perhatian massa. Kerennya lagi? Troublemaker 2 juga hadir dengan fitur music player untuk musik-musik original ini, yang bisa Anda putar, ganti, dan hentikan kapanpun Anda mau. Jujur, daripada penasaran soal sisi cerita seperti apa yang akan diusung game ini nantinya, kami lebih menunggu kira-kira band apa saja yang berhasil mereka ajak dan seperti apa karya yang mereka usung.

Troublemaker 2, Pantaskah untuk Diantisipasi?

Rasa suka Anda pada Troublemaker 2 sepertinya akan sangat bergantung pada seberapa tinggi toleransi Anda untuk kembali berhadapan dengan banyak “elemen” Troublemaker 1.

Jika hanya mengacu pada sesi demo yang kami cicipi, maka kami termasuk gamer yang harus menjawab “Tidak”. Jawaban ini mengakar pada rasa cinta dan antisipasi yang kemudian lebih banyak menghasilkan kekecewaan daripada kebahagiaan. Bahwa terlepas dari harapan kami bahwa Gamecom siap naik level dengan akses resource dan talenta yang kini lebih besar, Troublemaker 2 justru masih terperangkap pada masalah kualitas dan kelas yang sama, terutama di urusan penulisan cerita dan narasi.

Troublemaker 2: Beyond Dream sendiri rencananya akan dirilis pada tanggal 15 September 2025 mendatang.

Bagaimana dengan Anda? Tertarik dengan seri yang satu ini?

Author picture
Editor in Chief
Pladidus sudah berkecimpung selama 14 tahun di industri media game Indonesia dan selalu bersemangat untuk merekomendasikan Suikoden II kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja.

Next Post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Latest

Level Up Your Gaming News!

Subscribe for the latest gaming news and updates.

Share this website